Dilaporkan oleh: Fitra Yadi
Nama aslinya adalah Jusrizal Jurnalis. Mengapa kemudian berubah menjadi Jose Rizal, dia mengatakan bahwa hal inilah satu-satunya bentuk ketidaktaatannya pada orang tua. Jose yang menghabiskan masa kecilnya hingga tamat SMA di padang mengaku sebagai anak yang taat kepada perintah orang tua.
Jose Rizal merupakan salah seorang pendiri organisasi kemanusiaan Mer-C (Medical Emergency Rescue Committe). Laman situs mer-c.org mengatakan bahwa hingga saat ini Mer-C sudah mengirimkan lebih dari 124 misi kemanusiaan ke berbagai daerah di tanah air termasuk 2 misi ke Afghanistan, 1 misi ke Irak, 1 misi ke Iran (di bawah naungan Departemen Kesehatan RI), 1 misi ke Thailand, 2 misi ke Kashmir Pakistan, 1 misi ke Libanon Selatan, 1 misi ke Sudan, 1 misi ke Somalia, 2 misi ke Palestina (pada saat agresi militer Israel ke Jalur Gaza) dan 5 misi ke Palestina yang berkaitan dengan pembangunan RS Indonesia.
Jose Rizal menempuh pendidikan SD di PPSP IKIP Padang, kemudian melanjutkan ke SMP PPSP Ikip Padang juga dan SMA 2 Padang. Kemudian ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Selama di UI ia aktif di Forum Studi Islam dan pernah diamanahi sebagai ketua umum FSI di sana. Jose Rizal pernah bekerja sebagai dokter Spesialis di RS. Setia Mitra, RS. Budi Asih, dan RS. Siaga Raya Jakarta. Joserizal menikah dengan seorang wanita bernama Dian Susilawati dan telah dikaruniai tiga orang anak, yakni Aisha, Nabila, dan Saladin.
intelijen.co.id menuliskan bahwa Joserizal Jurnalis merupakan dokter sekaligus aktivis yang membantu masyarakat korban perang. Jose juga merupakan pendiri organisasi kemanusiaan Mer-C (Medical Emergency Rescue Committe) yang melakukan pertolongan medis dalam wilayah-wilayah konflik dan peperangan. Jose menyelesaikan pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan mengambil spesialis bedah umum.
Jose telah melakukan pertolongan dalam beberapa wilayah konflik, antara lain di Maluku, Mindanao, Afghanistan, Irak, dan Gaza. Dalam melakukan tugasnya di daerah konflik Jose sering mengalami keterbatasan peralatan. Di Maluku misalnya, dia harus mengamputasi kaki dengan gergaji kayu. Sementara di Afghanistan, dia sempat kehabisan jarum suntik.
Seperti yang terjadi di irak, korban perang di Irak menunggu tangan dinginnya. Dengan bekal Rp 200 juta sumbangan dari masyarakat, Jose berangkat ke Bagdad, ibukota Irak. Bapak tiga anak ini pergi bersama Fauzi Nasution seorang ahli bedah umum, serta Sarbini dan Yogi Prabowo sebagai dokter umum. Para dokter yang tergabung dalam MER-C (Medical Emergency Rescue Committe) ini berencana berada di Bagdad selama sebulan. Mereka tidak peduli meski hingga jam keberangkatannya belum mendapat ijin masuk Irak. “Kami akan masuk lewat Yordania atau Suriah,” kata Jose.
Bagi Jose, Irak bukanlah medan tempur di luar negeri pertama yang dijajalnya. Sebelumnya pengabdiannya telah meringankan korban perang saat terjadi konflik di Mindanao, Philipina. Dua tahun lalu dia masuk ke Afghanistan untuk mengobati rakyat sipil korban serangan Amerika Serikat. Saat itu bersama tim MER-C dia menembus Afghanistan melalui Quetta (perbatasan Afghanistan-Pakistan di sebelah tenggara). Kemudian melanjutkan ke wilayah Selatan hingga Kandahar yang merupakan jantung pertahanan Taliban.
Masih segar dalam ingatan Jose, ketika timnya hendak masuk ke sebuah kota. Saat itu kota di selatan Afghanistan ini mendapat hujan bom. Dia kemudian berdialog dengan pihak Taliban untuk mengeluarkan tim dokter dari kota tersebut demi keselamatan bersama. Namun permintaan itu ditolak. “Jangan dok, masyarakat sudah tahu dokter mau datang. Nanti, kami tidak bisa mengatasi kekecewaan mereka,” Jose menirukan jawaban tentara Taliban itu. “Saat-saat seperti itu yang membuat para dokter ini merasa pentingnya kehadiran mereka,” kenang Jose.
Perasaan yang sama dirasakannya saat menolong korban konflik atau bencana di tanah air. Konflik berdarah di Tual (Maluku Tenggara), Ambon, Galela, Halmahera, Bengkulu, hingga Aceh merupakan perhatian utama para dokter MER-C.
Peristiwa Maluku merupakan pemicu berdirinya MER-C. Saat terjadi pertumpahan darah di wilayah tersebut, tidak ada satu lembaga internasional yang mau terlibat. “Kami sebagai dokter mempunyai ikatan emosional dengan hal ini. Maka dibentuklah MER-C,” katanya tentang lembaga swadaya masyarakat di bidang kegawatdaruratan medis yang baru berusia empat tahun ini. Meskipun MER-C berasaskan Islam, namun di lapangan mereka haram membeda-bedakan korban yang harus ditolong.
Menurut Jose, masalah utama yang dihadapi di kawasan konflik selalu keterbatasan peralatan. Di Maluku misalnya, dia harus mengamputasi kaki dengan gergaji kayu. Sementara di Afghanistan, dia sempat kehabisan jarum suntik. Akibatnya persediaan jarum yang ada dipakai beberapa kali. Masalah baru muncul, karena tidak adanya alat sterilisasi. Maka rebusan air panas dipakainya. “Kalau nggak ada antibiotik, bisa menggunakan madu,” paparnya.
Sebagai manusia biasa, Jose mangaku tidak bisa menyembunyikan rasa takut saat berada di medan tempur. Namun baginya hidup dan mati seseorang tidak bakal mundur ataupun maju dari jadwal yang ditetapkan Tuhan. “Tetapi saya juga tidak mau takabur,” katanya. Dia tetap memperhitungkan setiap langkah sehingga tidak hanya mengandalkan nekat.
Namun yang dilakukan Jose bersama rekan-rekannya di MER-C tidak hanya melahirkan tanggapan positif. Banyak juga sinisme yang ditujukan pada mereka. Para penentang menuding mereka mencari popularitas. Selain itu muncul pendapat bahwa masih banyak masalah dalam negeri, mengapa harus repot-repot datang ke wilayah konflik di negeri seberang.
Bukan hanya pandangan miring dari pihak luar, langkah Jose pun sempat ditentang keluarganya. Orang tuanya selalu berupaya melarangnya. Begitu pula dengan istrinya yang mencegahnya saat pertama kali hendak berangkat ke Maluku. Namun Jose menganggap dia hanya perlu memberitahu tentang niatnya, tanpa perlu mendapat ijin.
Bisa jadi, bagi Jose inilah saatnya pria kelahiran Padang, Sumatera Barat ini menentukan pilihan penting dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya dia selalu menurut kemauan orang tua. Saat anak-anak dia bermimpi untuk menjadi astronot atau tentara. Saat SMA cita-citanya berubah ingin menjadi ahli nuklir. Namun sang ayah, Jurnalis Kamil mendesaknya untuk menjadi dokter.
'Gelar dokter diraih (1988). Jose lantas bertugas di sebuah Puskesmas di Padang. Ketaatan pada orang tuanya pula yang mendorong Jose mengambil program spesialis bedah orthopedi. Ceritanya bermula dari sebuah tragedi, ketika ibunya ditimpa musibah kecelakaan. Kakinya patah dan harus menjalani operasi. Dua tahun kemudian ternyata tulang yang patah itu tidak tersambung sehingga harus dioperasi ulang. Rupanya ini memberikan kesan yang mendalam, dan sejak saat itu Jose ingin mendalami spesialis bedah orthopedi. Gelar ini digondol pada 1999. Namun gelar spesialis itu tidak pernah memberikan rasa puas. “Saya baru merasa sebagai dokter sungguhan setelah terjun ke Maluku,” kata Jose.
Kehadiran Jose bersama tim MER-C serta Tim Bulan Sabit Yordania (tim dokter Yordania) di Bagdad memang tidak bakal menghentikan perang di Irak. Namun niat mereka menyelamatkan setiap jiwa merupakan sumbangan besar negeri ini bagi rakyat sipil di Irak yang menjadi korban terbesar dalam perang
"Hari-hari Joserizal di Gaza Tekan Kontrak Mati Berkali-kali" demikian ditulis di groups Yahoo K26-ITS. Selingkapnya laman itu menuliskan bahwa Dokter spesialis bedah tulang kelahiran Padang 11 Mei 1963 ini sudah kenyang terjun ke berbagai daerah konflik ataupun bencana alam. Sebagai salah seorang pendiri MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), Januari silam ia berangkat ke Gaza, Palestina, memimpin Tim Medis MER-C. Bagaimana kisah putra pasangan Prof.Ir. Jurnalis Kamil, Ph.D, MSc. - Prof. Zahara Idris, MA ini selama di Gaza?
Malam setelah Israel mulai melakukan pengeboman ke wilayah Gaza, aku, Joserizal Jurnalis, langsung menghubungi MER-C agar segera menyiapkan tim. MER-C adalah lembaga sosial kemanusiaan yang hingga kini sudah melakukan lebih dari 70 misi kemanusiaan, di dalam dan luar negeri. Aku termasuk salah seorang pendirinya dan sekarang menjadi salah seorang Presidium di sana.
Sebelumnya, aku ditelepon seseorang. Dari kode wilayah nomor teleponnya, aku tahu, dia dari Palestina. Katanya, Gaza diserang. Keesokan harinya, kami pun me-launching rencana keberangkatan tim ke Palestina. Kenapa kami langsung bereaksi? Sebetulnya, sudah lama kami tahu, wilayah Gaza diblokade meski baru tahu detail blokadenya belakangan.
Warga Gaza tak punya akses ke luar. Di laut, mereka hanya boleh berlayar sejauh 2 km. Kehidupan di Gaza sungguh susah. Semua tergantung dari luar. Aliran listrik dan sebagian air minum, dari Israel. Mata uang yang berlaku juga mata uang Pound Israel. Selain itu, mereka hidup dari pasokan barang perdagangan dari Mesir.
Begitulah, aku berangkat 1 Januari 2009 bersama seorang relawan MER-C, M. Mursalim. Dua hari berikutnya, menyusul 3 orang lain, yaitu dr. Sarbini (Ketua Presidium MER-C), dr. Indragiri, Sp.An. (Spesialis Anastesi) dan Ir. Faried Thalib. Aku sendiri sebelumnya sudah menyiapkan istri dan anak-anak, termasuk seandainya terjadi hal paling buruk padaku. Meski sudah berpengalaman ke berbagai medan konflik, keluarga selalu was-was setiap aku pergi.
Sejak awal kami tahu, Gaza daerah sulit. Sampai Kairo, kami makin yakin, daerah itu memang sulit. Dari mulai prosedur perizinan, cara membeli obat, membeli ambulans, dan sebagainya. Pokoknya, secara administrasi, susah. Sebelumnya, sudah ada dokter Norwegia yang masuk, tapi ternyata ia berbekal nekad.
Cukup lama kami menunggu sampai bisa masuk Gaza. Hampir 2 minggu. Sebelumnya, kami berbagi tugas. Sebagian di perbatasan di Raffah, sebagian lagi di Kairo membeli mobil dan obat-obatan untuk warga Gaza. Setelah cukup matang, barulah kami bergabung lagi di Raffah. Di sana, kami pun hanya bisa menunggu.
Belakangan, kami tahu dari orang Mesir, kami boleh masuk ke Gaza jika membawa surat rekomendasi dari Kedutaan Besar RI di Kairo. Padahal, saat itu, kami sudah di perbatasan sementara jarak perbatasan ke Kairo sekitar 600 Km. Ya, sudah, akhirnya kami kembali ke Kairo, minta surat rekomendasi ke KBRI Kairo. Kami harus menandatangani surat yang isinya, seandainya terjadi sesuatu, kami tidak akan menuntut Pemerintah RI. Kami teken saja.
Pihak KBRI kemudian mengirim surat itu ke Gubernur Sinai untuk minta izin. Ternyata, kami harus meneken kontrak mati. Menjelang berangkat, berubah lagi. Kami harus menandatangani surat yang isinya tidak akan menuntut Pemerintah RI, otoritas Palestina, dan Pemerintah Mesir, jika terjadi
apa-apa. Ya, kami teken saja, karena kami memang ingin menolong orang. Masak harus mundur gara-gara itu?
Tapi terus terang, aku kecewa berat terhadap pihak KBRI di Kairo. Kami memang dibantu, tapi aku merasa mereka tidak full membantu. Hanya beberapa orang di kedutaan yang membantu dengan hati. Bayangkan, kami ini, kan, mau masuk ke daerah perang membawa misi negara. Meski NGO, kami membawa bendera Merah-Putih. Tapi sambutan duta besarnya terkesan ogah-ogahan.
Bahkan saat berangkat dari kedutaan ke perbatasan, hanya diantar seorang staf dan wakilnya. Sementara untuk menjemput Umi Saodah (TKW Indonesia yang terjebak di Gaza), KBRI Kairo mengirim tim lengkap dan rela menunggu selama 2 hari di Raffah. Itu pun mereka tak mau masuk ke Gaza. Relawan kitalah yang diminta mencari.
Setelah urusan di KBRI Kairo selesai, kami kembali ke Raffah. Di perbatasan, melalui pembicaraan yang cukup intens, akhirnya kami dapat izin masuk (Sabtu, 17/1). Pengeboman terus berlangsung sejak pagi hingga malam. Bahkan, saat kami berada di kantor imigrasi di perbatasan, sebuah bom jatuh sangat dekat sampai ruangan imigrasi bergetar hebat. Daarrr! Nyaliku pun sempat
menciut.
Ketika kami menyerahkan paspor, petugas imigrasi Mesir kembali bertanya, "Are you sure you want to go inside?" Kalau yakin, kami harus tandatangan kontrak mati lagi. Kami pun teken. Kami melewati perbatasan menggunakan bus. Biayanya 91 pounds (sekitar Rp 200 ribu). Padahal, jaraknya hanya sekitar 200 meter! Turun dari bus, kami pindah naik ambulans bersama dokter dari Mesir dan Turki, menuju RS Asy Syifa di Gaza City, sekitar 40 km dari perbatasan.
Di dalam mobil, aku menundukkan kepala sambil berdoa. Aku tidak mau kepala menjadi sasaran tembak para sniper. Beberapa kali ambulan sempat berhenti, benar-benar menegangkan. Tidak ada kendaraan lain atau pengawalan selama perjalanan. Di Khan Younis, kota antara Raffah dan Gaza City, rombongan berhenti sebelum melanjutkan perjalanan ke Gaza City.
Terakhir, kami berhenti agak lama, sekitar 2 jam. Sebelum berhenti, teman dokter dari Mesir bilang "Nobody move! Don't open the door! Keep your head out of the window!" Berita yang aku dengar, ada pertempuran di jalan dan ambulans harus berbalik arah mencari jalan lain. Dan ternyata kami memang berada di tengah-tengah "pertempuran". Di kanan-kiri jalan, tank Israel berjajar. Kami baru tahu itu dari sopir setelahnya.
Akhirnya, kami sampai di Gaza City sekitar pukul 21.00. Sambutannya luar biasa karena mereka tahu kami masuk di tengah hujan bom, di tengah pertempuran sengit di daerah antara Khan Younis - Gaza. Mereka sangat senang dan berterimakasih. Malam itu langsung digelar pertemuan membahas rencana
pekerjaan besok. Kami pun diberi satu ruangan beserta kasur. Pokoknya, kami dijamu dengan baik. RS Asy Syifa sendiri relatif aman, meskipun ada beberapa bom yang jatuh di sekitarnya.
Posting Komentar
0Komentar