Editor: Fitra Yadi
Jauh sebelum zaman kemerdekaan, dimana belum ada pemerintahan nagari. Ketika itu masih dalam masa penjajahan, nagari dipimpin oleh Datuak Palo. Zaman itu nagari Sumaniak berdiri sebagai nagari maju dan pasarnya ramai dikunjungi oleh orang-orang dari nagari sekitar, bahkan dari Tungkoa dan Situjuah yang jauh dipisahkan oleh Bukit Pintu Angin.
Pasar Sumaniak ramai setiap hari Ahad, oleh sebab itu pasar ini tenar disebut sebagai Balai Okok. Disini masyarakat berjual beli, bertransaksi serta menjual berbagai hasil bumi dan komoditi. Kondisi itu menggambarkan seberapa jauh dan kemampuan ekonomi masyarakat Sumaniak ketika itu. Pada awal abad 19 hasil bumi dari nagari Sumanik sangat melimpah seperti cengkeh, padi, kacang tanah, dan lain – lain. Sebelum tahun 1900 balai-balai (pasar) di nagari Sumanik masih terpencar. Diantara balai itu adalah seperti: balai Sangkua, balai Malintang, balai Gobah dan balai Panjang. Kemudian pemuka nagari bersepakat untuk menjadikannya satu balai saja menjadi balai Okoak sekarang.
Dalam rangka menyatukan tempat bertransaksi dan berjual beli maka jadilah balai Okoak yang ramai dan dikunjungi oleh orang dari berbagai Nagari. Sebagai balai yang ramai dimasa itu sudah menjadi tradisi kebanggaan bagi masyarakat umumnya bahkan lebih khususnya orang-orang yang baru kawin yaitu membeli daging yang bukan hanya sekedar untuk di konsumsi hari ini tetapi untuk di cadangkan konsumsi sepekan karena hari balai (pekan) hanya digelar sekali seminggu saja. Oleh karena itu kebutuhan daging sapi / kerbau sangat tinggi waktu itu dan pengunjung balai sangat ramai, sehingga memotong sapi / kerbau setiap pekannya 8 – 10 ekor maka diperlukan sebuah rumah potong untuk melakukan pemotongan hewan tersebut.
Pada mulanya dibuat rumah potong di pinggir balai Okoak yang berukuran 5 x 6 meter dan disinilah tempat pemotongan hewan serta penjualan daging setiap pekannya, hal itu berlansung puluhan tahun. Melihat perkembangan balai dan berkembangannya permintaan pasar, tempat itu dirasa sangat sempit maka pada tahun 1916 disepakati untuk membuat rumah potong baru diatas tanah pribadi masyarakat yang di sewa dengan daging 1 Kg sekali sepekan. Rumah potong itu dibangun seukuran 8 x 10 m yang terletak di area balai yang digunakan hanya untuk memotong sapi / kerbau.
Itu sudah lama, yaitu pada awal abad 19 dimana nagari-nagari yang lainnya belum memiliki rumah potong. Disekitar kewedaanan Salimpaung bahkan di luar dari pada itu nagari yang mempunyai rumah potong balainya hanya Sumaniak dan ini menjadi bukti sejarah bahwa nagari Sumaniak balainya lebih besar dan pengunjungnya ramainya waktu itu.
Rumah potong ini dapat menjadi lambang majunya tingkat ekonomi masyarakatnya ketika itu. Dengan persediaan 8 -10 ekor daging sapi setiap pekan itu dapat dibayangkan omset balai Sumaniak pada masa itu. Besarnya balai Sumaniak, banyaknya komoditi serta hasil panen yang dapat dibawa atau dijual dibalai, menunjukan tingkat kesejahteraan, kemakmuran ekonomi masyarakat bahkan dikatakan Sumaniak jaya pada masa itu.
Kemajuan dan kejayaan nagari Sumaniak dimasa lalu, karena perjalan waktu dan pergeseran zaman serta perubahan paradigma masyarakat serta kemajuan transportasi dan menurunnya sistem pertanian dengan berkurangnya produktifitas bisa jadi penyebab air menjadi berkurang, musim hujan mengalami pancaroba dan teknis bertani yang sudah dijadikan kelinci percobaan, akhirnya balai nagari Sumaniak mengalami penurunan pengunjung dan penurunan omset, balai nagari Sumaniak tinggal sebuah kenangan sebagai balai Nagari jaya sehinggga balai pada masa sekarang fungsi rumah potong tersebut sudah hilang, tidak lagi ada memotong sapi setiap hari pekan di rumah potong tersebut.
Bekas rumah potong itu sekarang masih ada yang terletak di sebelah kiri sebelum simpang depan balai Okoak (lihat photo diatas). Di bagian atas bangunan itu nampak tulisan tahun 1916 dengan jelas dan tanda ini adalah bukti otentik yang menyatakan bangunan tua itu telah berdiri, digunakan sejak tahun 1916.
Pada masa pemerintahan wali Meizel FM Bgd. Nan Kuniang sekitar 10 tahun yang lalu pemerintahan Nagari menyikapi untuk mempertahankan bangunan tersebut sebagai bukti sejarah sebagai bukti bagi anak cucu orang Sumaniak dan memberi motifasi untuk meraih kejayaan, kebesaran dan kemajuan lagi.
Pasar Sumaniak ramai setiap hari Ahad, oleh sebab itu pasar ini tenar disebut sebagai Balai Okok. Disini masyarakat berjual beli, bertransaksi serta menjual berbagai hasil bumi dan komoditi. Kondisi itu menggambarkan seberapa jauh dan kemampuan ekonomi masyarakat Sumaniak ketika itu. Pada awal abad 19 hasil bumi dari nagari Sumanik sangat melimpah seperti cengkeh, padi, kacang tanah, dan lain – lain. Sebelum tahun 1900 balai-balai (pasar) di nagari Sumanik masih terpencar. Diantara balai itu adalah seperti: balai Sangkua, balai Malintang, balai Gobah dan balai Panjang. Kemudian pemuka nagari bersepakat untuk menjadikannya satu balai saja menjadi balai Okoak sekarang.
Dalam rangka menyatukan tempat bertransaksi dan berjual beli maka jadilah balai Okoak yang ramai dan dikunjungi oleh orang dari berbagai Nagari. Sebagai balai yang ramai dimasa itu sudah menjadi tradisi kebanggaan bagi masyarakat umumnya bahkan lebih khususnya orang-orang yang baru kawin yaitu membeli daging yang bukan hanya sekedar untuk di konsumsi hari ini tetapi untuk di cadangkan konsumsi sepekan karena hari balai (pekan) hanya digelar sekali seminggu saja. Oleh karena itu kebutuhan daging sapi / kerbau sangat tinggi waktu itu dan pengunjung balai sangat ramai, sehingga memotong sapi / kerbau setiap pekannya 8 – 10 ekor maka diperlukan sebuah rumah potong untuk melakukan pemotongan hewan tersebut.
Pada mulanya dibuat rumah potong di pinggir balai Okoak yang berukuran 5 x 6 meter dan disinilah tempat pemotongan hewan serta penjualan daging setiap pekannya, hal itu berlansung puluhan tahun. Melihat perkembangan balai dan berkembangannya permintaan pasar, tempat itu dirasa sangat sempit maka pada tahun 1916 disepakati untuk membuat rumah potong baru diatas tanah pribadi masyarakat yang di sewa dengan daging 1 Kg sekali sepekan. Rumah potong itu dibangun seukuran 8 x 10 m yang terletak di area balai yang digunakan hanya untuk memotong sapi / kerbau.
Itu sudah lama, yaitu pada awal abad 19 dimana nagari-nagari yang lainnya belum memiliki rumah potong. Disekitar kewedaanan Salimpaung bahkan di luar dari pada itu nagari yang mempunyai rumah potong balainya hanya Sumaniak dan ini menjadi bukti sejarah bahwa nagari Sumaniak balainya lebih besar dan pengunjungnya ramainya waktu itu.
Rumah potong ini dapat menjadi lambang majunya tingkat ekonomi masyarakatnya ketika itu. Dengan persediaan 8 -10 ekor daging sapi setiap pekan itu dapat dibayangkan omset balai Sumaniak pada masa itu. Besarnya balai Sumaniak, banyaknya komoditi serta hasil panen yang dapat dibawa atau dijual dibalai, menunjukan tingkat kesejahteraan, kemakmuran ekonomi masyarakat bahkan dikatakan Sumaniak jaya pada masa itu.
Kemajuan dan kejayaan nagari Sumaniak dimasa lalu, karena perjalan waktu dan pergeseran zaman serta perubahan paradigma masyarakat serta kemajuan transportasi dan menurunnya sistem pertanian dengan berkurangnya produktifitas bisa jadi penyebab air menjadi berkurang, musim hujan mengalami pancaroba dan teknis bertani yang sudah dijadikan kelinci percobaan, akhirnya balai nagari Sumaniak mengalami penurunan pengunjung dan penurunan omset, balai nagari Sumaniak tinggal sebuah kenangan sebagai balai Nagari jaya sehinggga balai pada masa sekarang fungsi rumah potong tersebut sudah hilang, tidak lagi ada memotong sapi setiap hari pekan di rumah potong tersebut.
Bekas rumah potong itu sekarang masih ada yang terletak di sebelah kiri sebelum simpang depan balai Okoak (lihat photo diatas). Di bagian atas bangunan itu nampak tulisan tahun 1916 dengan jelas dan tanda ini adalah bukti otentik yang menyatakan bangunan tua itu telah berdiri, digunakan sejak tahun 1916.
Pada masa pemerintahan wali Meizel FM Bgd. Nan Kuniang sekitar 10 tahun yang lalu pemerintahan Nagari menyikapi untuk mempertahankan bangunan tersebut sebagai bukti sejarah sebagai bukti bagi anak cucu orang Sumaniak dan memberi motifasi untuk meraih kejayaan, kebesaran dan kemajuan lagi.
Sumber: RUMAH POTONG SAPI SUMANIAK
Posting Komentar
0Komentar